GpdlGfO6GUAiTpMpTfr6GSOo

Slider

Mengenal Maestro Sepakbola Dunia, ”10 Perintah Maradona”



Republiknews.com, STADION sepak bola identik dengan panggung sinema. Semisal, arena shooting film diibaratkan sebuah pertandingan sepak bola. Maka, semua crew dipastikan akan terlibat di dalamnya. Jabatan sutradara, pelakon utama, pemeran pembantu, pemeran pengganti, penulis naskah, pembuat setting dekorasi-nya, audience dan juga media masa yang menyiarkan kegiatan itu ke seluruh pelosok dunia.


“Blockbuster” tahun 2018 dua tahun lalu, adalah film bertajuk FIFA WORLD Cup 2018, yang memproduksi 64 episode. Bedanya hanya satu, di dalam pertandingan sepak bola tidak ada re-take (pengambilan gambar berulang-ulang). Waktu 90 menit untuk in-actions para ‘artis’ diberikan cuma satu kesempatan. Hasilnya: kalah, menang atau seri dan kemudian bisa tos-tosan alias adu penalti sebelum melenggang ke babak berikutnya.


Di bawah pengawasan wasit yang menjadi ‘sutradara’, pemain beraksi mengeluarkan kelebihan akting masing-masing di lapangan. Ada yang berakrobatik, ada yang diving, atau ada yang pura-pura menjerit kesakitan. Dalam pertunjukan ‘anak wayang’ ini, ‘penulis naskah’ diperankan oleh sang pelatih. Kerap kali, dia sebagai arsitek di luar lapangan hanya mampu bisa gregetan melihat kenyataan, bahwa apa yang terjadi di lapangan tak berjalan seperti yang ditulisnya.


Lalu siapa yang berperan sebagai ‘produser’? Jawabnya, dalam film WORLD Cup 2018, jabatan ini tentu disandang oleh FIFA. Lembaga kasta tertinggi organisasi yang paling sangar se-jagat raya. Makanya, ‘selebritis’ yang akan berada di Rusia ini, selama sebulan 14 – Juni – 15 Juli saat itu, sangat glamour. Seperti layaknya produser, FIFA itu kadang punya sikap diktator, yang hanya menomorsatukan perangkat dan personil terbaik yang digunakan dalam filmnya.


Di benaknya cuma satu, meraih Oscar dan film harus sukses di pasar dan menjadi box office. Apalagi, saat ini sepak bola itu, bisa diatur dan tunduk oleh kepentingan televisi dan sponsor.


Karenanya, dia menggelar casting yang bernama babak kualifikasi, sehingga hanya 32 negara terbaik dari sekitar 134 negara yang boleh ikut main dalam filmnya. Suporter yang berduyun-duyun ke stadion, di-idiomkan sebagai audience, yang tak hanya diberi tugas sebagai penonton belaka.


Mereka dua puluh dua (22) laki-laki saling menendang bola, dan Jerman di World Cup 2014 sebagai kampium, sepertinya terlibat secara emosional di dalam pertunjukan ini. Begitu pula Rusia yang ditunjuk sebagai tuan rumah ingin bernostalgia seperti jaman bernama Uni Soviet (pernah juara Piala Eropa – EURO 1960).


Sepak bola sudah menjadi panggung theater kehidupan. Jutaan manusia terlibat di dalamnya. Dari berbagai peran yang mereka mainkan, dari mulai berteriak gembira, histeris, atau sebaliknya marah, malu, cengeng, mengumpat, juga tidak tertutup ada konspirasi dan sebagainya.


Bagi mBah Coco, mengkaitkan bahwa tahun 2018 adalah tahunnya FIFA WORLD Cup 2018. Sebagaimana pembuat film kolosal yang baik. Hanya saja, manusia di kolong langit ini, tidak ada yang memastikan “ending” dari film kolosal yang super glamour ini. Pasalnya, film yang akan diputar di ‘layar hijau’ itu, sedang siap-siap digelar, dan sedang menunggu peluit sang ‘pengadil’ bernama wasit.


Artinya, sebelum peluit berakhir pada pertandingan pamungkas di Stadion Luzhniki, Moscow, Rusia, 15 Juli 2018, maka sang peraih ‘Oscar’ sepak bola masih dinantikan miliaran pasang mata.


Perjalanan Jules Rimet Trophy yang menjelma menjadi World Cup Trophy, seperti cerita dongeng, hikayat atau pun foklor, bahkan ada yang menyebut hanya sekadar tahayul yang lahir ribuan tahun sebelum ada peradaban. Faktanya, di lapangan hijau sejak ribuan tahun, hingga melahirkan sepak bola modern. Dari permainan 22 pemain inilah, akhirnya justru secara tidak sengaja muncul embrio baru, seperti “agama baru”, “dewa” atau pun “selebritis sepanjang massa”.


Sejak Brasil meraih gelar juara dunia Jules Rimet 1958, Pele usianya masih 17 tahun. Dan, saat itu, ketua umum PSSI-nya Brsil, Joao Havellange (nantinya jadi presiden FIFA), sudah menolak mentah-mentah masuknya Pele dalam skuad ‘Jogo Bonito’. Namun, ternyata di Swedia, saat final Pele yang jadi pahlawan. Dan, itu berlanjut sampai Brasil merebut ketiga kalinya Piala Jules Rimet (cikal bakalnya embrio World Cup Trophy) tahun 1970.


Sejak menelorkan ‘The Dream Team’ sepanjang masa dalam tim Brasil 1970, masyarakat Brasil yang kini berjumlah 200 jutaan itu, sudah merasakan denyut darahnya, sebagai darah “Agama Sepak Bola”. Warga Brasil menganggap “Sepak Bola” bukan hanya sebagai olah raga, namun mereka menganggap sebagai agama.


Dan, sebagai agama, mereka mempunyai ‘Dewa’ yang mereka panggil dengan sebutan ‘Pele’ dan juga seorang ‘Lucifer’ dengan nama ‘Ademir’ si Fallen Angel ‘agama’ sepak bola Brazil, dan juga seorang ‘Dajjal’ yang dinamakan Moacir Barbossa, kiper tim nasional Brasil yang dijebol, striker Uruguay, Alcides Ghiggia, sekaligus mengubur nasib Brasil gagal menjadi juara Piala Dunia 1950.


Ada cerita enam (6) tahun lalu, saat ditonton mbah Coco, di Argentina, ada duet presenter BBC Knowlegde dalam program ‘The Road To Rio” Mark Watson dan Henning When, dalam episode 2, mencoba menguber legenda Argentina, Maradona. Komedian yang didaulat jadi ‘host’ itu, sangat kaget, sebuah gedung tidak mewah, di pintu gerbang ada tulisan besar, “Gereja Iglesia Maradoniana”. Di dalam gedung, suasana memang sama dengan gereja-gereja Katolik, ada yang masih berdoa, hening dan khusyuk.


Bagi pengikut Diego Armanda Maradona, Iglesia Maradoniana (bahasa Inggris: Church of Maradona, secara harfiah Gereja Maradonian) adalah sebagai agama. Menurut laman Wikipedia, “agama” tersebut diciptakan oleh penggemar Maradona, setelah pensiun sebagai pemain sepak bola Argentina. Dan, sangat dipercaya dan diyakini, bahwa Maradona adalah pemain sepanjang masa, hingga kiamat yang didaulat sebagai dewa – ‘Tuhan’. Kini, pengikutnya sudah mencapai 2.5 juta sebagai umatnya.


“The Iglesia” didirikan, 30 Oktober 1998 (ulang tahun ke-38 Maradona) di kota Rosario, Argentina. Hal ini dapat dilihat sebagai jenis “sinkretisme” atau sebagai sebuah “agama”. Hanya saja, tergantung bagaimana setiap orang mau mendefinisikan dari “agama” saat untuk menggunakannya?


Dikatakan oleh Alejandro Verón, salah satu pendiri: “Saya memiliki agama yang rasional, yaitu Katolik, dan saya memiliki agama sesuai hati, gairah, dan itu ada di dalam sosok Diego Maradona.” Bagi mereka, para pendukung “Gereja Maradonian”, dianggap sudah berdiri, dihitung sejak kelahiran Maradona, tahun 1960.


Salah satu yang asyik menurut mBah Coco, saat Mark dan Henning mengikuti kebaktian di Gereja Iglesia Maradoniana, mirip dengan agama Katolik, di mana ada “10 Perintah Allah’. Sementara, di gereja “The Iglesia”, juga punya pedoman “10 Perintah Maradona”.(mBah Cocomeo, wartawan olahraga senior spesialis sepakbola).TOR-(T.L)

Special Ads
Special Ads
Special Ads
© Copyright - Republiknews
Berhasil Ditambahkan

Type above and press Enter to search.