GpdlGfO6GUAiTpMpTfr6GSOo

Slider

Babad Tanah Jawa (Bag. 5)



Teori Slamet Muljana


Sejarawan Slamet Muljana (1960) berpendapat bahwa, terjemahan Dr. Chhabra lebih benar, yaitu Wisnu dan Sri Maharaja bukan ayah dan anak, melainkan satu orang yang sama. Berdasarkan perbedaan tata bahasa, ia juga menolak anggapan kalau prasasti Ligor A dan B ditulis pada waktu yang bersamaan.


Menurutnya Slamet Muljana, hanya prasasti A saja yang ditulis pada tahun 775 oleh raja Sriwijaya yang dipuji bagaikan Indra. Sedangkan prasasti B dikeluarkan oleh Maharaja Wisnu setelah Kerajaan Sriwijaya berhasil dikuasai Wangsa Sailendra.


Wisnu dan Dharanindra masing-masing dijuluki sebagai Sarwwarimadawimathana (prasasti Ligor B) dan Wairiwarawiramardana (prasasti Kelurak) yang keduanya bermakna sama, yaitu "pembunuh musuh-musuh perwira". Selain itu, nama Wisnu dan Dharanindra juga memiliki makna yang sama, yaitu "pelindung dunia". Dengan kata lain, Slamet Muljana menganggap Maharaja Wisnu dan Dharanindra adalah orang yang sama.dilansir dari wikipedia.org.


Slamet Muljana juga membantah teori bahwa Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya yang dikalahkan Dharanindra. Dalam prasasti Kalasan (778) Rakai Panangkaran disebut sebagai "permata wangsa Sailendra", jadi tidak mungkin kalau ia adalah putra Sanjaya. Justru menurutnya, Rakai Panangkaran merupakan raja Sailendra pertama yang berhasil mengalahkan keluarga Sanjaya dan merebut takhta Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno).


Lebih lanjut Muljana berpendapat, Dharanindra adalah raja pengganti Rakai Panangkaran yang berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya dengan kekuatannya. Setelah peristiwa itu, Ligor yang merupakan jajahan Sriwijaya secara otomatis menjadi jajahan Wangsa Sailendra. Daerah itu pun dijadikannya sebagai pangkalan militer untuk menyerang Kamboja dan Campa. Sebagai tanda kekuasaan, Dharanindra menulisi bagian belakang prasasti Ligor A, sehingga lahir prasasti B yang isinya berupa puji-pujian untuk dirinya sebagai penjelmaan Wisnu.


Teori Slamet Muljana ini juga didasarkan pada data sejarah Kamboja, bahwa Campa pernah diserang Jawa tahun 787. Kemudian pada tahun 802 Raja Jayawarman berhasil memerdekakan Kamboja dari penjajahan Jawa.


Apabila teori ini benar, maka penulisan prasasti B merupakan tanda berkuasanya Wangsa Sailendra atas daerah Ligor yang terjadi antara tahun 778 dan 787. Muljana menyimpulkan, setelah berhasil menaklukkan Jawa, keluarga Sailendra pun menaklukkan Sriwijaya dan menjadikan Ligor sebagai batu loncatan untuk menyerang Kamboja.


Rakai Panangkaran


Rakai Panangkaran Hanacaraka (Srī Mahārāja Rakai Pānangkaran Dyaḥ Pañcapana) adalah raja kedua Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno). Ia memerintah sekitar tahun 770-an. Periode pemerintahannya menandai dimulainya kegairahan membangun berbagai candi beraliran Buddha Mahayana di Dataran Prambanan; antara lain Tarabhavanam, Abhayagirivihara, dan Manjusrigrha.


Minimnya data-data sejarah Mataram Kuno menyebabkan terjadinya beberapa penafsiran di antara para sejarawan mengenai asal usul Rakai Panangkaran. Ada yang berpendapat ia berasal dari Wangsa Sanjaya, ada pula yang berpendapat ia berasal dari Wangsa Sailendra.


Sang Pembangun Candi


Maharaja Rakai Panangkaran menempati urutan kedua dalam daftar raja-raja Kerajaan Medang versi prasasti Mantyasih. Namanya ditulis setelah Sanjaya, yang diyakini sebagai pendiri kerajaan tersebut. Prasasti ini dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung pada tahun 907, atau ratusan tahun sejak masa kehidupan Rakai Panangkaran.


Sementara itu, prasasti yang berasal dari zaman Rakai Panangkaran adalah prasasti Kalasan tahun 778. Prasasti ini merupakan piagam peresmian pembangunan sebuah candi Buddha bernama Tarabhavanam (Buana Tara) untuk memuja Dewi Tara. Pembangunan ini atas permohonan para guru raja Sailendra. Dalam prasasti itu Rakai Panangkaran dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka atau “permata Wangsa Sailendra”. Candi yang didirikan oleh Rakai Panangkaran tersebut sekarang dikenal dengan sebutan Candi Kalasan.


Periode pemerintahannya ditandai dengan giatnya pembangunan candi-candi beraliran Buddha Mahayana di kawasan Dataran Prambanan. Selain candi Kalasan, berapa candi yang diperkirakan dibangun atas prakarsa Rakai Panangkaran antara lain Candi Sari yang dikaitkan sebagai wihara pendamping Candi Kalasan, Candi Lumbung, Prasada Vajrasana Manjusrigrha (Candi Sewu), dan Abhayagiri Vihara (kompleks Ratu Boko).


Prasasti Abhayagiri Wihara yang berangka tahun 792 M menyebutkan tokoh bernama Tejahpurnapane Panamkarana (Rakai Panangkaran) mengundurkan diri sebagai Raja karena menginginkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah keagamaan dengan mendirikan wihara yang bernama Abhayagiri Wihara, yang dikaitkan dengan kompleks Ratu Boko. Diperkirakan Raja Panangkaran telah wafat sebelum Candi Sewu dan Abhayagirivihara rampung, sehingga ia tidak sempat menyaksikan beberapa karyanya (Candi Sewu).


Hubungan dengan Sanjaya dan Dharanindra


Sanjaya merupakan raja pertama Kerajaan Medang. Menurut prasasti Canggal (732), ia menganut agama Hindu aliran Siwa. Sementara itu Rakai Panangkaran adalah raja kedua Kerajaan Medang. Menurut prasasti Kalasan (778), ia mendirikan sebuah candi Buddha aliran Mahayana. Sehubungan dengan berita tersebut, muncul beberapa teori seputar hubungan di antara kedua raja tersebut.


Teori pertama dipelopori oleh Van Naerssen menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya. Wangsa Sanjaya kemudian dikalahkan oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha. Pembangunan Candi Kalasan tidak lain merupakan perintah dari raja Sailendra terhadap Rakai Panangkaran yang telah tunduk sebagai bawahan. Nama raja Sailendra tersebut diperkirakan sama dengan Dharanindra yang ditemukan dalam prasasti Kelurak (782). Teori ini banyak dikembangkan oleh para sejarawan Barat, antara lain George Cœdès, ataupun Dr. F.D.K. Bosch.


Teori kedua dikemukakan oleh Prof. Poerbatjaraka yang menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya namun keduanya sama-sama berasal dari Wangsa Sailendra, bukan Wangsa Sanjaya. Dalam hal ini Poerbatjaraka tidak mengakui keberadaan Wangsa Sanjaya. Menurut pendapatnya (yang juga didukung oleh sejarawan Marwati Pusponegoro dan Nugroho Notosutanto), sebelum meninggal, Sanjaya sempat berwasiat agar Rakai Panangkaran berpindah ke agama Buddha. Teori ini berdasarkan kisah dalam Carita Parahyangan tentang tokoh Rahyang Panaraban putra Sanjaya yang dikisahkan pindah agama. Rahyang Panaraban ini menurut Poerbatjaraka identik dengan Rakai Panangkaran. Jadi, yang dimaksud dengan "para guru raja Sailendra" tidak lain adalah guru Rakai Panangkaran sendiri.


Teori ketiga dikemukakan oleh Slamet Muljana bahwa, Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya. Dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih tertulis nama Sanjaya bergelar Sang Ratu, sedangkan Rakai Panangkaran bergelar Sri Maharaja. Perubahan gelar ini membuktikan terjadinya pergantian dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang. Jadi, Rakai Panangkaran adalah raja dari Wangsa Sailendra yang berhasil merebut takhta Medang serta mengalahkan Wangsa Sanjaya. Menurut Slamet Muljana, Rakai Panangkaran tidak mungkin berstatus sebagai bawahan Wangsa Sailendra karena dalam prasasti Kalasan ia dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka (permata Wangsa Sailendra).


Dalam hal ini, Slamet Muljana menolak teori bahwa Rakai Panangkaran adalah bawahan Dharanindra. Menurutnya, Rakai Panangkaran dan Dharanindra sama-sama berasal dari Wangsa Sailendra. Meskipun demikian, ia tidak menganggap keduanya sebagai tokoh yang sama. Menurutnya, Dharanindra tidak sama dengan Rakai Panangkaran yang memiliki nama asli Dyah Pancapana (sesuai pemberitaan prasasti Kalasan). Muljana berpendapat, Dharanindra adalah nama asli dari Rakai Panunggalan, yaitu raja ketiga Kerajaan Medang yang namanya disebut sesudah Rakai Panangkaran dalam prasasti Mantyasih.


Tahun Pemerintahan Wisnu


Apabila teori Slamet Muljana benar, maka tahun pemerintahan Maharaja Wisnu yang berlangsung dari 775 – 782 sebagaimana banyak ditemukan dalam beberapa literatur perlu untuk ditinjau ulang.


Alasan pertama ialah, tahun 775 merupakan tahun penulisan prasasti Ligor A oleh raja Kerajaan Sriwijaya sebelum berkuasanya Wangsa Sailendra. Muljana menganggap hanya prasasti B yang dikeluarkan oleh Wisnu dan itu pun ditulis sesudah tahun 775.


Alasan kedua ialah, andaikata prasasti A benar-benar dikeluarkan oleh Maharaja Wisnu tahun 775, tetap saja tidak ada bukti kuat kalau prasasti ini adalah prasasti pertamanya. Dengan kata lain, Wisnu belum tentu naik takhta tepat tahun 775.


Alasan ketiga ialah, tahun 782 merupakan tahun dikeluarkannya prasasti Kelurak oleh Dharanindra. Apabila teori Coedes benar bahwa Dharanindra adalah putra Wisnu, tetap saja tidak ada bukti kuat kalau prasasti Kelurak merupakan prasasti pertamanya. Dengan kata lain, Dharanindra mungkin saja naik takhta menggantikan Wisnu sebelum tahun 782.


Dengan demikian, masa pemerintahan Maharaja Wisnu tidak dapat dipastikan benar-benar terjadi pada tahun 775 – 782.


Prasasti Kelurak


Prasasti Kelurak merupakan prasasti batu berangka tahun 782 M yang ditemukan di dekat Candi Lumbung, Desa Kelurak, di sebelah utara Kompleks Percandian Prambanan, Jawa Tengah.


Keadaan batu prasasti Kelurak sudah sangat aus, sehingga isi keseluruhannya kurang diketahui. Secara garis besar, isinya adalah tentang didirikannya sebuah bangunan suci untuk arca Manjusri atas perintah Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadhananjaya. Menurut para ahli, yang dimaksud dengan bangunan tersebut adalah Candi Sewu, yang terletak di Kompleks Percandian Prambanan. Nama raja Indra tersebut juga ditemukan pada Prasasti Ligor dan Prasasti Nalanda peninggalan kerajaan Sriwijaya.


Prasasti Kelurak ditulis dalam aksara Pranagari, dengan menggunakan bahasa Sanskerta. Prasasti ini kini disimpan dengan No. D.44 di Museum Nasional, Jakarta. (T.L)

Special Ads
Special Ads
Special Ads
© Copyright - Republiknews
Berhasil Ditambahkan

Type above and press Enter to search.