GpdlGfO6GUAiTpMpTfr6GSOo

Slider

Sejarah Minahasa (Bagian.Pertama)

 


Republiknews.com – Sejarah Minahasa, meliputi rentang waktu perkembangan kebudayaan daerah Minahasa yang adalah sebuah daerah yang dihuni oleh Suku Minahasa di ujung utara Sulawesi, Indonesia.


Suku Minahasa

Seperti dilansir dari id wikipedia org, Suku Minahasa Adalah kelompok suku etnis yang berasal dari Semenanjung Minahasa di bagian utara pulau Sulawesi di Indonesia. Wilayah-wilayah administratif tempat bermukim mayoritas orang-orang Minahasa (atau Minahasa Raya) adalah Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Tenggara, Kabupaten Minahasa Utara, Kota Bitung, Kota Manado, dan Kota Tomohon. Seluruh kawasan administratif ini terletak di Provinsi Sulawesi Utara dan suku Minahasa merupakan suku bangsa terbesar di provinsi ini. Hal ini juga yang menyebabkan dalam percakapan awam, orang Minahasa sering kali disamakan dengan sebutan orang Manado yang adalah ibukota Sulawesi Utara. Suku Minahasa merupakan gabungan dari kelompok-kelompok sub-etnis yaitu Bantik, Pasan/Ratahan, Ponosakan, Tombulu, Tondano (Toulour), Tonsawang (Tombatu), Tonsea, dan Tontemboan.

Etimologi

Sebutan Minahasa berarti "menjadi satu" dan berasal dari kata pokok asa yang merupakan kata kerja yang berarti "satu". Sebutan ini pertama kali muncul dalam laporan Residen Manado J. D. Schierstein kepada Gubernur Maluku tertanggal 8 Oktober 1789. Laporan tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok sub-etnik Bantik dan Tombulu (Tateli) dalam peristiwa yang dikenang sebagai "Perang Tateli" menggunakan sebutan Minhasa untuk Landraad (atau Dewan Negeri atau juga Dewan Daerah). Nama ini kemudian dipopulerkan oleh penulis-penulis Belanda pada abad ke-19 dan juga orang-orang Minahasa perantauan di Jawa pada awal abad ke-20. Sebutan-sebutan sebelum munculnya nama Minahasa termasuk antara lain Minaesa (atau Ma'esa) dan Mahasa, keduanya yang mempunyai arti yang sama dengan Minahasa. Selain itu, nama Malesung pernah digunakan sebagai sebutan untuk wilayah Minahasa.

Asal Mula

Daerah Minahasa termasuk salah satu tempat migrasi pertama orang-orang Austronesia ke arah selatan pada akhir milenium ketiga dan kedua SM. Hipotesis yang diterima secara umum adalah bahwa orang-orang Austronesia awalnya menghuni Taiwan, sebelum bermigrasi dan menempati daerah-daerah di Filipina utara, Filipina selatan, Kalimantan, dan Sulawesi sebelum berpisah menjadi kelompok-kelompok dengan satu menuju barat ke Jawa, Sumatra, dan Malaysia, sementara yang lain bergerak ke timur menuju Oseania.

Menurut mitologi Minahasa, orang Minahasa adalah keturunan Toar dan Lumimuut. Awalnya, keturunan Toar-Lumimuut dibagi menjadi tiga kelompok: Makarua Siouw (dua kali sembilan), Makatelu Pitu (tiga kali tujuh), dan Pasiowan Telu (sembilan kali tiga). Populasi mereka berkembang dengan pesat yang mengakibatkan perselisihan di antara kelompok-kelompok ini. Para pemimpin mereka yang bernama Tona'as kemudian memutuskan untuk bertemu dan membicarakan hal ini dalam pertemuan di bukit Tonderukan yang adalah salah satu puncak dari Gunung Soputan. Dalam pertemuan ini, terjadi tiga macam pembagian yang disebut Pahasiwohan (pembagian wilayah), Pinawetengan un Nuwu (pembagian bahasa), dan Pinawetengan un Posan (pembagian ritual). Pada pertemuan itu keturunan dibagi menjadi tiga kelompok bernama Tombulu, Tonsea, dan Tontemboan. Di tempat berlangsungnya pertemuan ini terdapat sebuah batu peringatan yang disebut Watu Pinawetengan (atau Batu Pembagi).

Suku-Suku

Suku Minahasa merupakan gabungan dari beberapa sub-suku atau sub-etnis di daerah Minahasa Raya. Dari antara kelompok-kelompok sub-etnis terdapat empat sub-etnis utama berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah yaitu Tombulu, Tondano, Tonsea, dan Tontemboan. Tulisan Graafland pada abad ke-19 menggunakan nama Tou'mbulu untuk Tombulu, Tou'nsea untuk Tonsea, Toulour untuk Tondano, dan Tounpakewa untuk Tontemboan. Perbedaan sebutan untuk dua nama terakhir karena sebutan Toulour dan Tounpakewa berasal dari Bahasa Tombulu. Tapi untuk kesemuanya, kata tou dalam nama-nama tersebut berarti orang. Setiap kelompok sub-etnis ini adalah satu pakasa'an yang berarti "mereka yang bersatu" karena kesamaan leluhur, adat, dan bahasa.

Dari keempat sub-etnis utama tersebut, ada pendapat bahwa Pakasa'an Tondano tidak muncul bersamaan dengan ketiga pakasa'an lainnya. Hal ini terlihat dari catatan Johann Gerard Friedrich Riedel dalam tulisannya pada tahun 1870 yang menyatakan bahwa awalnya terdapat tiga pakasa'an yaitu Tumbuluk (Tombulu), Tountewoh (Tonsea), dan Toungkimbut (Tontemboan). Ketiga pakasa'an inilah yang menurut cerita rakyat melakukan pembagian wilayah di Watu Pinawetengan. Pendapat tentang dari mana asal atau datangnya Pakasa'an Tondano berbeda. Ada yang berpendapat bahwa Pakasa'an Tondano adalah pecahan dari Pakasa'an Tountewoh (Tonsea). Tapi ada pendapat lain bahwa Pakasa'an Tondano berasal dari kelompok yang juga ikutserta dalam pertemuan di Watu Pinawetengan yang bernama Tousendangan. Ada juga yang mencatat nama kelompok asal dari Pakasa'an Tondano adalah Tousingal.

Kelompok-kelompok sub-etnis lainnya adalah Bantik, Pasan/Ratahan, Ponosokan, dan Tonsawang (Tombatu). Sub-etnis Bantik mendiami daerah Kota Manado dan sekitarnya. Sub-etnis Pasan/Ratahan, Ponosokan, dan Tonsawang mendiami daerah selatan Minahasa Raya. Ada juga beberapa kelompok sub-etnis yang diikutsertakan sebagai bagian dari Suku Minahasa yaitu Babontehu, Borgo, dan Siauw. Sub-etnis Babontehu mendiami Pulau Manado Tua dan pulau-pulau sekitarnya. Sub-etnis Borgo adalah turunan orang-orang Minahasa yang kawin dengan orang-orang Eropa seperti Belanda, Portugis, dan Spanyol. Sedangkan sub-etnis Siauw adalah mereka yang mendiami Pulau Siauw.

Sejarah

Deskripsi pertama tentang Minahasa oleh bangsa Eropa berasal dari dokumen Portugis pada tahun 1552. Sebelumnya pada tahun 1523, pelaut Portugis Simao d'Abreu adalah orang Eropa pertama yang melihat semenanjung Minahasa pada saat ia melewati dan mencatat kekagumannya pada Pulau Manado Tua. Kemudian Spanyol dan Belanda datang ke Minahasa pada awal abad ke-17. Pada akhir abad ke-17, kepala-kepala walak (atau daerah tempat tinggal bersama) dari berbagai daerah Minahasa datang bersama dan memutuskan untuk mengadakan perjanjian dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) dalam usaha memerangi serangan dari daerah Kerajaan Bolaang Mongondow. Perjanjian ini terjadi pada tanggal 10 Januari 1679 dan dilakukan antara gubernur VOC yang berkedudukan di Maluku yaitu Robertus Padtbrugge dengan 23 kepala walak. Nama-nama walak yang termasuk dalam perjanjian tersebut adalah Aris, Bantik, Kakas, Kakaskasen, Klabat, Klabat Atas, Langowan, Pasan (yang juga mewakili Pinosokan dan Ratahan), Remboken, Rumoong, Sarongsong, Tombariri, Tombasian, Tomohon, Tompaso, Tondano, Tonkimbut Atas, Tonkimbut Bawah, Tonsawang, dan Tonsea. Namun hubungan dengan Belanda tidak selalu baik, seperti pada tahun 1808 dengan terjadinya Perang Tondano antara Minahasa dengan Hindia Belanda. Salah satu alasan terjadinya perang ialah Minahasa tidak mau menyediakan tentara untuk Hindia Belanda yang akan dikirim ke Pulau Jawa.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jawa, Minahasa termasuk daerah yang cukup awal ikut bergabung dalam republik yang baru dibentuk. Hal ini dapat dilihat dengan terjadinya Peristiwa Merah Putih pada tanggal 14 Februari 1946 di mana prajurit-prajurit Minahasa dalam Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda) melucuti senjata dari pimpinan militer Belanda kemudian mengibarkan Sang Saka Merah Putih di tangsi militer Belanda di Teling, Manado. Di samping itu, orang-orang Minahasa di Jawa bergabung dalam wadah Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dan ikutserta dalam Revolusi Nasional Indonesia.

Sebuah gerakan yang melibatkan orang-orang Minahasa terjadi pada tahun 1958 yang bernama Perjuangan Rakyat Semester (Permesta) yang menentang kebijakan pemerintah Indonesia di Jawa. Salah satu alasan utama dari gerakan ini adalah karena ajang politik dan upaya pembangunan Indonesia terpusat di pulau Jawa, sedangkan sumber-sumber perekonomian negara lebih banyak berasal dari pulau-pulau lain.

Agama

Mayoritas orang Minahasa menganut agama Kristen Protestan. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, persentase penduduk di kabupaten dan kota di Minahasa Raya yang menganut agama Kristen Protestan adalah 74%. Jika Kota Manado yang adalah ibukota Provinsi Sulawesi Utara tidak diikutsertakan, maka persentase ini menjadi 78%. Selain itu, penduduk yang beragama Islam adalah 15% dan penduduk yang beragama Kristen Katolik adalah 6%.

Mulanya gereja-gereja Protestan di Minahasa termasuk dalam wadah Indische Kerk yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1934, Indische Kerk digantikan oleh Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) yang merupakan denominasi regional yang berdiri sendiri. Setahun sebelumnya pada tahun 1933, Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) didirikan oleh di antaranya B.W. Lapian dan Sam Ratulangi dengan memisahkan diri dari Indische Kerk. Selanjutnya denominasi-denominasi Protestan lain juga berdiri sehingga pada tahun 1955 terdapat 20 denominasi: empat denominasi Protestan, 11 denominasi Pantekosta, dua denominasi Kemah Injil, dua denominasi Adventis, dan satu denominasi Baptis. Pada tahun 1990 jumlah denominasi menjadi 54 denominasi dengan GMIM yang terbesar meliputi 75% dari semua penganut agama Kristen Protestan.

Agama asli Minahasa ialah Tonaas Walian yang masih mempunyai sejumlah pemeluk.

Adat dan Budaya

Pembagian sub-etnis Minahasa termasuk dari segi bahasa di mana orang-orang dalam satu kelompok sub-etnis mempunyai dan memakai bahasa yang relatif sama. Dengan ini, bahasa-bahasa yang ada di Minahasa terdiri dari Bahasa Bantik, Bahasa Ponosokan, Bahasa Ratahan, Bahasa Tombulu, Bahasa Tondano, Bahasa Tonsawang, Bahasa Tonsea, dan Bahasa Tontemboan. Kesemua bahasa-bahasa ini termasuk dalam Rumpun bahasa Austronesia. Berdasarkan kesamaan leksikostatistik, bahasa-bahasa yang termasuk kelompok Minahasa adalah Tombulu, Tondano, Tonsawang, Tonsea, dan Tontemboan. Ketiga bahasa lainnya dimasukkan ke dalam kelompok lain di mana Bahasa Ponosokan dimasukkan ke dalam kelompok Gorontalo-Mongondow dan Bahasa Bantik dan Ratahan dimasukkan ke dalam kelompok Sangihe-Talaud.

Dalam rumpun bahasa Minahasa, bahasa Tombulu, Tondano, dan Tonsea mempunyai kesamaan leksikal yang cukup tinggi di mana kesamaan antara ketiga bahasa ini antara 89%-90%. Kemudian disusul oleh Bahasa Tontemboan yang mempunyai kesamaan dengan ketiga bahasa sebelumnya antara 73%-83%. Bahasa Tonsawang merupakan bahasa yang paling rendah kesamaannya dengan bahasa-bahasa lain dalam rumpun bahasa Minahasa dengan kesamaan antara 54%-65%. Hal ini mungkin disebabkan karena daerah sub-etnis Tonsawang lebih terisolasi dibandingkan dengan daerah sub-etnis lainnya dan juga karena penutur bahasa ini berjumlah paling sedikit.

Tulisan kuno Minahasa disebut Aksara Malesung terdapat di beberapa batu prasasti di antaranya di Watu Pinawetengan. Aksara Malesung merupakan tulisan hieroglif, yang hingga kini sedang dalam proses terjemahan. (*talia)

Special Ads
Special Ads
Special Ads
© Copyright - Republiknews
Berhasil Ditambahkan

Type above and press Enter to search.