GpdlGfO6GUAiTpMpTfr6GSOo

Slider

LKBHMI Cabang Ambon Selenggarakan Pengabdian Masyarakat; Nobar dan bacarita film "lumbung ikan nestapa "



Kegiatan Nobar dan Bacarita Film dokumenter “Lumbung Ikan Nestapa"

 Oleh LKBHMI Cabang Ambon


Republiknews.com, Ambon - Tepatnya pada tanggal 29 Oktober 2022, Pukul 10.00 Wit, LKBHMI Cabang Ambon bekerja sama dengan Ikadarma Nusa Telu melaksanakan kegiatan Nobar (Nonton Bareng) dan Bacarita Film Dokumenter “Lumbung Ikan Nestapa” yang dirilis oleh wachdoc dan Green Peace dengan mengangkat tema “Lumbung Ikan Nasional (LIN) dan Masa Depan Nelayan Negeri Assilulu.


 Kegiatan ini adalah salah satu kegiatan yang ternasuk dalam salah satu program LKBHMI Cabang Ambon Periode 2022-2023 yang termasuk dalam program pengabdian masyarakat.


 Kegiatan ini dilaksanakan di Negeri Assilulu dan mengundang beberapa kalangan yaitu dari Nelayan, Pemuda dan mahasiswa Yang Notabenenya berasal Dari Negeri Assilulu.


 Dalam kegiatan ini juga turut hadir beberapa narasumber yang cukup kompeten dibidangnya masing-masing yaitu bapak Gani Kiat (Nelayan Negeri Assilulu) Ahmad S. Soulisa (Lawyer Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Insan Cita Maluku) dan M. Yusuf Sangadji (Yayasan Jala Ina Maluku) serta di moderatori oleh Miftahul J. Saimima (LKBHMI Cabang Ambon).


 Pelaksanaan Kegiatan dimulai dengan Pemutaran Film dan Nonton Bareng (Nobar) serta dilanjutkan dengan diskusi. Dalam pemutaran film ini  banyak menyajikan Informasi yang menggambarkan kondisi Sosial dan Ekonomi Nelayan-nelayan kecil Masyarakat pesisir sebelum dan Setelah akan dibangunnya Lumbung Ikan Nasional dan Ambon New Port di perairan Maluku. 


Dalam kesempatan ini bapak Gani Kiat  menyatakan bahwa pada tahun 1997 rata-rata nelayan di Assilulu dapat menghasilkan tangkapan ikan yang banyak hanya dengan panggayung parahu sejauh 12 mil dari garis pantai dan sekarang harus melaut sampai di perairan banda tenggara yang rata-rata sampai lebih dari 40 mil yang membutuhkan biaya operasional minimal 1 juta rupiah setiap kali melaut dan itu selalu tidak berbanding lurus dengan hasil tangkapannya.


 Dari tahun 1997 sampai 2007 setiap harinya terdapat ratusan perahu Nelayan kecil berjejer dan beroperasi di sekitaran laut Assilulu dan perputaran Ekonomi di Negeri ini bisa mencapai ratusan Juta Rupiah per harinya dari tangkapan hasil laut hanya dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana. 


Ia juga lanjut menyatakan bahwa dulu rata – rata orang Assilulu dapat menyekolahkan anaknya sampai ke tingkat perguruan tinggi hanya dengan hasil laut dan sekarang buat bayar uang koskosan anak saja sudah susah.


 Dalam kesempatan yang sama M. Yusuf Sangadji juga menyatakan alasan mengapa harus menolak LIN. 


Dengan beroperasinya LIN yang menggunakan sistem penangkapan terukur Negara memberikan kepada pihak ke tiga dalam hal ini perusahaan untuk mengelola sumber daya perikanan diwilayah laut tertentu dan menggunakan alat tangkap modern serta terjadinya Privatisasi sumber daya laut dan perikanan. 


Hal ini tentunya akan sangat berdampak kepada nelayan-nelayan kecil yang hanya menggunakan alat seadanya. 


Akan terjadi persaingan penangkapan ikan antara nelayan kecil dan perusahaan yang dimana perusahaan selain di untungkan dengan alat tangkap yang modern juga dengan perizinan yang bebas mengeksplorasi sumber daya laut dan perikanan yang telah di tentukan berdasarkan izin dan sudah pasti nelayan kecil tidak dapat lagi melakukan penangkapan ikan di wilayah yang telah menjadi wilayah tangkap perusahaan. 


Selain itu juga dengan beroperasinya LIN akan dapat merusak Ekosistem laut dan orientasi pembengunan ekonominya dapat menyingkirkan sumber penghidupan rakyat kecil.


 Ia pun lanjut menyatakan pembangunan LIN yang diasumsikan dapat menyerap 2000 tenaga kerja di Maluku hanya akan membuat rakyat kecil tersingkir dari penghidupannya 


alasannya cukup jelas, dengan beralihnya mata pencaharian rakyat dari nelayan atau petani yang bebas menentukan sendiri kapan dia akan bekerja dan kapan dia akan beristrahat menjadi tenaga kerja perusahaan yang semuanya di kendalikan oleh perusahaan akan membuat masyarakat ketergantungan dengan perusahaan.


 Olehnya itu beliau menyarankan untuk mengatasi hal itu, perlunya membangun kembali budaya sasi di tiap-tiap negeri adat, membangun Koperasi Nelayan dan mendorong pengakuan masyarakat Adat wilayah pesisir beserta hak-hak wilayah lautnya guna mewujudkan kemandirian ekonomi masyarakat pesisir. 


Dalam kesempatan yang sama juga, Ahmad S. Soulisa memaparkan bahwa logika pembangunan yang dipakai oleh pemerintah hari ini cenderung berorientasi dari atas ke bawah (Top down) bukan dari bawah ke atas (Bottom-up) 


artinya jika kita berangkat dari sejarah Bangsa Indonesia yang lebih dulu ada adalah Daerah-daerah.


 Maluku lebih dulu ada dari Negara Indonesia begitu juga daerah – daerah lain. Seharusnya kebijakan yang di keluarkan oleh negara hari ini berdasarkan kondisi yang ada di Daerah-daerah.


 Ia juga menambahkan bahwa pengaturan soal hukum laut dan wilayah kepulauan di Indonesia itu selalu merujuk pada Unclos 1982.


 Ia juga menambahkan bahwa wilayah laut yang hanya bisa di eksplorasi oleh rata-rata masyarakat Jazirah Leihitu maksimal 12 mil dari garis pangkal laut wilayah pesisir selebihnya itu adalah wilayah yang bebas di eksplorasi oleh siapapun termasuk perusahaan. 


Penulis " Asri (Direktur LKBHMI cabang ambon 2022-2023)"

Special Ads
Special Ads
Special Ads
© Copyright - Republiknews
Berhasil Ditambahkan

Type above and press Enter to search.