GpdlGfO6GUAiTpMpTfr6GSOo

Slider

Pilpres 2024, Defisitnya Politik Gagasan (?)

Oleh Muharam Yamlean

(Mantan Ketua Umum Forum Pascasarjana UNJ)


“Politik adalah seni lembut untuk mendapatkan suara orang miskin dan dana 

kampanye dari orang kaya, dengan berjanji untuk melindungi satu sama lain.” – 

Oscar Ameringer (1870-1943), seorang penulis dari Jerman.


Republiknews.com, Pemilu 2024 bukan tidak mungkin mulai ramai diperbincangkan di publik negeri ini pada hari-hari ini. Beberapa nama bahkan telah digadang-gadang sebagai bakal calon presiden (bacapres). Tentu saja tidak ujug-ujug dengan bermodalkan popularitas, mereka yang akan dicalonkan sebagai presiden Republik Indonesia tentu sudah harus memiliki reputasi dan gagasan tentang bagaimana membawa Indonesia menjadi negara maju, unggul dan sejahtera.


Pemilihan presiden adalah momentum politik yang penting untuk menentukan masa depan bangsa dan negara Indonesia ini ke depan. Oleh sebab itu, publik harus mengetahui dengan cermat dan tepat apa gagasan utama mereka para calon presiden dan wakil presiden yang diusung nanti? Apa yang akan dan telah mereka lakukan sepanjang riwayat sepak terjang mereka di ruang publik untuk kemajuan serta perubahan-perubahan penting bagi masyarakat? Sehingga percakapan mengenai calon kepala negara itu tidak hanya berkisar pada lip service semata atau sekadar gimick politik. Akan tetapi, lebih jauh dari itu tentang bagaimana arena politik pemilu terutama pemilihan presiden justru lebih dipertebal dengan terus bergulirnya politik gagasan (politics of ideas).


Pertunjukan demi pertunjukan sudah mulai dilakukan oleh para elite politik. Mulai dari bersafari demi mencari simpati publik, gaya berpakaian dan berbicara pun diatur sedemikian rupa untuk menampilkan diri mereka sebagai sosok yang merakyat, humble, humanis, dan lain sebagainya.


Apakah model politik yang digunakan pada pemilu 2014 dan 2019 yakni politik pencitraan, apa masih bisa menjadi jualan di pemilu 2024? Terlepas dari laris ataupun tidak direspons dan diapresiasi oleh publik, semuanya adalah bagian yang sedang berkembang dan cukup sulit untuk dihindari. Sebab kesemuanya itu bersifat melekat, berbasis pada rancangan skenario yang sudah disusun dan terus digencarkan dalam rangka menaikkan elektabilitasnya masing-masing.


Gagasan dari setiap calon kepala negara dalam kontestasi pemilu adalah faktor penting bagi ruang perpolitikan kita. Sebab gagasan menjadi bahan jualan para calon presiden kepada rakyat, yang output-nya tentu saja akan melahirkan kompetisi yang sehat dalam lalulintas demokrasi. Hal demikian dengan mempertimbangkan bahwa demokrasi adalah ruang di mana kontestasi ide atau gagasan harus dimunculkan dan diperdebatkan.


Pentingnya memulai diskursus tentang ide atau gagasan para calon presiden ini, lebih didasarkan oleh kesadaran bersama bahwa percakapan mengenai gagasan menjadi sesuatu yang mainstream dalam setiap ruang politik. Sasarannya jelas, bahwa ide atau gagasan yang dipercakapkan tersebut dapat menegasikan gimik dan pembusukan dalam politik yang semakin hari semakin menunjukan daya rusaknya terhadap demokrasi kita. Publik harus dibiasakan untuk terus menerus mendiskusikan program dan tawaran kebijakan dari para bacapres itu, agar proses pendidikan politik yang berkualitas bagi masyarakat dapat terjadi. Pada titik inilah, rangkaian awal dalam derap menuju pemilu 2024 menjadi saksi tentang mulai menguatnya kesadaran atas pentingnya politik gagasan. Bukan lagi agama, aliran, kepercayaan, dan bahkan fakta kesukuan yang menjadi komoditas politik untuk pemenangan kontestasi, melainkan ide-ide cemerlang yang terus diproduksi untuk memperkuat lahirnya kebijakan bersama melalui instrumen politik kekuasaan. Dalam politik gagasan, semakin dekat dan konkret gagasan yang ditawarkan dengan kebijakan bersama, maka semakin memberikan daya tarik kepada publik seluas-luasnya.


Bangsa yang besar ini dibangun di atas dasar gagasan-gagasan cemerlang para pendiri bangsa (the founding fathers) ini yang berasal dari berbagai elemen masyarakat, mewujudka ciri kebinekaan kita yang niscaya (taken for granted). Kebinekaan itu sebagaimana yang marak diistilahkan belakangan ini sebagai sebuah proyeksi dalam kajian-kajian kebudayaan yaitu: Multikulturalisme. Kesadaran ini tentu telah lahir jauh sebelum kemerdekaan bangsa ini diproklamirkan. Oleh karenanya, semua denominasi dalam bentuk agama, suku bangsa, bahasa, dan ras mestinya memiliki “saham” yang sama atas Indonesia, negeri yang sama-sama kita cintai ini.


Menguatnya kesadaran atas pentingnya politik gagasan dalam perkembangan terkini perpolitikan Indonesia memberikan harapan besar kepada kembalinya kesadaran keindonesiaan kita. Kita memang telat dari sisi desain dan aksi politik gagasan jika dibandingkan dengan negara yang lebih maju seperti Amerika Serikat (AS) yang memang telah melakukan aksi konkret atas politik gagasan dimaksud. Akan tetapi, kita tentu dapat terus belajar bersama (learning together) sebagai sebuah bangsa dengan mengenali sekaligus memanfaatkan potensi kebangsaan kita sebagai sebuah laboratorium demokrasi yang kita miliki demi terwujudnya kehidupan bersama (living together) yang adil dan berkemajuan. John Kenneth White dalam bukunya The Politics of Ideas (1998) menjelaskan bahwa politik gagasan justru menjadi isu publik yang sangat mengemuka di negeri Paman Sam sejak tahun 1990-an.

Ketika politik gagasan diselimuti polusi informasi. 

Merebaknya penggunaan media sosial diiringi dengan tsunami informasi di era masyarakat informasi (information society) saat ini yang, dalam banyak hal, masyarakat pun tak mampu memverifikasi dan memvalidasi kebenarannya. Akhirnya disinformasi dan bahkan informasi palsu (hoax) pun tak bisa dihindarkan kerap justru mencemari ruang-ruang publik. Atau apa yang saya istilahkan sendiri sebagai polusi informasi. Kita tak jarang melihat atau menyaksikan sendiri perpecahan yang sengaja diciptakan di ruang-ruang maya (media sosial) yang didahului oleh disebarluaskannya hoax itu sendiri. Runyamnya, kondisi seperti ini bahkan ikut direproduksi sebagai semacam gunjingan politik oleh para politikus kita sendiri. Sesuatu yang sebenarnya sudah lazim di negeri ini, terutama dalam dinamika pemilu.  


Oleh sebabnya, menurut saya, literasi digital menjadi kebutuhan mendesak yang harus terus diperkuat di saat politik gagasan mulai dimanipulir oleh kelompok-kelompok tertentu yang ditandai oleh munculnya bentuk-bentuk destruksi dalam pola pembangunan demokrasi politik kita seperti mereproduksi hoax sebagai alat propaganda politik yang kerap memenuhi ruang-ruang atau platform media sosial kita menjelang pada pemilu 2024. Literasi digital ini tentu dibutuhkan secara praktis, salah satunya sebagai sebuah upaya bersama mengurangi bahkan meniadakan polusi-polusi informasi yang tidak menyehatkan itu.


Kita tentu sama-sama menghendaki sebuah kehidupan di atas tatanan demokrasi yang sehat dan bermartabat. Untuk itu, upaya untuk terus menghidupkan politik gagasan dengan cara menjaga jagad media sosial kita dari polusi informasi merupakan sesuatu yang wajib ditunaikan. Sedangkan upaya atau respons yang tepat untuk menjawab hal tersebut ialah melalui pemahaman yang mumpuni dan berdampak secara praktis terhadap literasi digital itu sendiri.


Saya hendak menyudahi catatan sederhana ini dengan mengutip salah satu ungkapan Naomi Klein, seorang penulis asal Kanada itu, bahwa: demokrasi bukan hanya hak untuk memilih, tetapi demokrasi adalah hak untuk hidup bermartabat. 


Sembari terus bergerak dalam kesunyataan akal sehat kita masing-masing dan berharap bahwa demokrasi politik kita akan berangsung pulih dari terjangan polusi informasi. Disegarkan kembali dengan embusan sejuk politik gagasan. Sekian!

Special Ads
Special Ads
Special Ads
© Copyright - Republiknews
Berhasil Ditambahkan

Type above and press Enter to search.