GpdlGfO6GUAiTpMpTfr6GSOo

Slider

Upaya Merawat Tri-Rrelasi melalui Ritual Barong Waé

Anatolius Wawan Patriagar
Mahasiswa Semester VI Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar UNIVERSITAS KHATOLIK INDONESIA SANTU PAULUS RUTENG


Manggarai,Republiknews.com
-Manusia, budaya, dan lingkungan membentuk suatu sistem yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga relasi yang teratur dan terarah pada kelestarian lingkungan hidup adalah pilihan untuk mempertahankan fungsi alam dan nilai-nilai budaya (Rafiek, 2012:148). 


Gagasan ini penting dalam kebudayaan Manggarai, roh kebudayaan Manggarai terikat kuat dengan alam (Sutam, 2012:177).  


Budaya dan kebudayaan memiliki perbedaan arti, budaya merujuk pada hasil karya manusia, sedangkan kebudayaan mencakup gagasan, karya, dan akal budi manusia yang diwariskan dan dikembangkan untuk memenuhi kepuasan dan kesejahteraan hidup. 


Setiap daerah memiliki budaya dengan karakteristiknya sendiri. Salah satunya yang kompleks adalah sistem religi yang berkembang dengan berbagai paham berdasarkan kepercayaan atau situasi sosial masyarakat.


Salah satunya sistem religi yang terungkap dalam setiap tahap upacara penti oleh orang Manggarai, setiap tahapan upacara penti adalah satu kesatuan untuk mengungkapkan rasa syukur sekaligus bersolidaritas dengan sesama manusia dan alam. Upacara penti sangat erat berkaitan dengan ciri khas kehidupan orang Manggarai yang sebagian besar bertani, sekaligus makhluk sosial, ekologis, dan religius. 


Ritual Barong Waé  

Ritual adat "barong wae" adalah salah satu tradisi dan produk budaya masyarakat Manggarai untuk mengungkapkan rasa syukur (disebut "penti" dalam bahasa Manggarai) atas seluruh berkat yang telah diterima dari Sang Pencipta. 


Kata "barong" berasal dari kata dasar "baro" yang artinya melapor, memberitahukan, dan mengajak orang untuk berpartisipasi. Istilah "barong" secara khusus digunakan dalam konteks ritual, seperti "barong wae; "Wae" dalam bahasa Manggarai memiliki arti mata air, yang dianggap penting dalam kehidupan kampung atau beo bagi masyarakat Manggarai (Makur, 2021) 


Barong wae sebagai tradisi, terus diwariskan setiap generasi, sementara sebagai produk budaya adalah salah satu identitas yang mengambarkan kehidupan masyarakat Manggarai. 


Ritual barong waé  sebagai cipta dan karsa adalah produk budaya serta  identitas orang Manggarai dengan maknanya menjiwai, menggambarkan nilai, rasa, harapan dan cita-cita manusia Nuca Lale sebagai makhluk budaya, sosial, ekologis dan religius (Hatam, 2015)


Dilaksanakan ritual barong waé téku, didasari oleh keterkaitan erat dengan pandangan orang Manggarai yang menganggap air sebagai sumber kehidupan. Barong waé sebagai upacara yang dilakukan di mata air bertujuan untuk menyampaikan ucapan syukur dan harmoniasi sosial, ekologis dan religius. 


Sehingga ada ungkapan "mbohas wae woang, kembus wae teku", yang merupakan harapan dari warga kampung agar volume air tetap normal atau tidak mengalami penurunan


Merawat Tri-Relasi

Budaya sebagai kolektif dan interaktif terungkap dalam tri-relasi, yaitu relasi dengan sesama (relasi sosial), relasi dengan alam (relasi ekologis), dan relasi dengan Tuhan (relasi religius). 


Tiga relasi ini sangat jelas dalam kebudayaan Manggarai. Go’ét (ungkapan) yang menggambarkan eratnya relasi orang Manggarai dengan sesama adalah nai ca anggit tuka ca léléng, relasi ekologis terungkap  dalam go’ét natas ca labar, wae bate téku, gendang oné lingkon pe’ang, lodok’n oné cicing pe’ang, dan relasi religius terungkap dalam go’ét parn Awo Kolepn Salè, Tana’ wa, Awang Eta, Mori Jari Agu Dédék (Hemo, 1990:80)


Melalui ritual barong waé, selain bermakna syukur, tetapi juga harmonisasi (hambor) untuk mewarat relasi harmonis secara sosial, ekologis dan religius. 


Hambor adalah usaha untuk menciptakan perdamaian dan keharmonisan antara sesama manusia, alam, leluhur, dan Pencipta; tradisi hambor tidak hanya terbatas pada resolusi konflik, melainkan juga mencakup seluruh aspek kehidupan dan ritual orang Manggarai yang kental dengan nilai-nilai hambor (Jemali, 2021)


Mewujudkan relasi harmonis melalui nilai-nilai hambor dalam ritual barong Waé, (1) secara sosial terungkap dalam kekompakan dan kebersamaan (persatuan) untuk melaknaskan ritual, (2) secara ekologis termakna melalui tindakan dan bahan “pesembahan” (sesajian) yang berasal dari alam.


 Ini menunjukkan alam dan manusia (masyarakat Manggarai) mempunyai relasi yang erat dengan alam. Bahwa relasi manusia dengan alam seperti jaring laba-laba (Harold Turner, dalam Hatam, 2015). 


Sel-sel alam dengan seluruh makhluknya berada dalam satu sistem kehidupan yang saling mempengaruhi dan membutuhkan satu sama lainya (Hatam, 2015); (3) secara religius, terungkap dalam torok yang selalu menyebutkan “Mori Jari Agu Dedek”. Seluruh rangkian ritual upacara adat ini disatukan dalam Kurban Kristus  melalui perayaan Ekaristi (Hatam, 2015)


Upaya merawat relasi sosial, ekologis, dan religius (tri-relasi) adalah usaha yang harus dilakukan secara terus menerus. 


Hal ini menjadi semakin penting mengingat dampak negatif kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap pemahaman makna dan nilai-nilai budaya lokal, termasuk dalam konteks ritus barong waé. 


Salah satu perhatian khusus adalah melibatkan generasi muda sebagai ahli waris nilai-nilai budaya dalam setiap ritual budaya. 


Untuk menjaga harmoni relasi sosial, ekologis, dan religius melalui pemaknaan nilai-nilai budaya, perlu dipikirkan cara-cara baru, antara lain: 


(1) Memanfaatkan rumah gendang sebagai tempat berbagi budaya: Rumah gendang, sebagai pusat kegiatan budaya Manggarai, dapat dimanfaatkan sebagai tempat bagi masyarakat untuk berbagi, belajar, dan mengenali nilai-nilai budaya lokal, termasuk melibatkan generasi muda dalam proses ini. 


(2) Meningkatkan efektivitas mata pelajaran budaya lokal dengan konten budaya lokal: Pendidikan formal dapat menjadi wadah untuk memperkenalkan dan mengenalkan nilai-nilai budaya lokal kepada generasi muda dengan menghadirkan konten budaya lokal yang relevan dan dapat menggugah minat serta pemahaman mereka terhadap budaya lokal. 


(3) Melibatkan generasi muda dalam setiap kegiatan budaya: Generasi muda perlu diajak aktif dalam setiap kegiatan budaya, baik itu ritual, upacara, maupun acara budaya lainnya. Dengan demikian, mereka dapat belajar langsung dan merasakan nilai-nilai budaya secara langsung, serta menjadi pengemban nilai-nilai budaya tersebut di masa depan. 


(4) Menjelaskan makna setiap ritual budaya saat melaksanakannya: Penting untuk menjelaskan makna, filosofi, dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ritual budaya ketika melaksanakannya. Dengan demikian, generasi muda dapat lebih memahami dan menghargai nilai-nilai budaya lokal yang ada.


Diharapkan tradisi budaya seperti ritus barong Waé dan nilai-nilai budaya lokal Manggarai dapat tetap terjaga dan diteruskan kepada generasi muda, sehingga relasi sosial, ekologis, dan religius dapat tetap harmonis dan lestari dalam menjalani kehidupan sehari-hari. “Berpikir gelombal, bertindak lokal”



Sumber Rujukan 

Hatam, Feliks. 2015. Go’ét Muku Ca Pu’u Nèka Wolèng Curup-Teu Ca Ambo Nèka Wolèng Lako Dimaknai Dengan Prinsip-Prinsip Persekutuan Menurut Paulus Seturut Surat Pertamanya Kepada Jemaat Di Korintus. Skripsi Tidak Terbit. Ruteng: STKIP Santu Paulus Ruteng.


Hemo, Dorteus. 1990. Ungkapan Bahasa Daerah Manggarai Propinsi NTT. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan NTT.

Sutam, Inosensius. 2012.”Menjadi Gereja Katolik yang berakar dalam kebudayaan Manggarai”, dalam: Martin Chen dan Charles Suwendi (eds), Iman , budaya dan Pergumulan Sosial refeleksi Yubileum 100 Tahun Gereja Katolik Manggarai. Bogor: Grafika Mardi Yuana

Jemali, Lian. 2021. “INTERVIEW: Maksimilianus Jemali (Pemenang Nusantara Award 2021): “Hambor Bisa Menjadi Modal  Perdamaian Terbesar di Manggarai” https://floresku.com/read/interview-lian-jemali-hambor-salah-satu-keutamaan-yang-bikin-orang-manggarai-hidup-damai-dan-harmonis

Makur, Markus. 2021. Ritual Barong Wae di Manggarai, Harmonisasi dengan Sang Pencipta, Alam, Leluhur, dan Roh Penjaga Mata Air. https://regional.kompas.com/read/2021/08/18/145009878/ritual-barong-wae-di-manggarai-harmonisasi-dengan-sang-pencipta-alam?page=all



Penulis Adalah  Anatolius Wawan Patriagar

Mahasiswa Semester VI Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar UNIVERSITAS KHATOLIK INDONESIA SANTU PAULUS RUTENG

Special Ads
Special Ads
Special Ads
© Copyright - Republiknews
Berhasil Ditambahkan

Type above and press Enter to search.