GpdlGfO6GUAiTpMpTfr6GSOo

Slider

Hari Pendidikan Nasional : Williem Iskandar Sosok Pejuang Pendidikan Di Indonesia


Oleh: Rosina Zahara, M.Pd.

Guru SDN Keumuneng Hulu, Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur

Tanggal 2 Mei tetap diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasinal atau diringkas menjadi Hardiknas. Salah satu pahlawan Indonesia di bidang pendidikan adalah Willem Iskandar. Di Tanah Mandailing, ia dianggap memiliki peran pendidikan yang signifikan. Satie Nasution adalah nama lahir Willem Iskandar saat lahir. Pada Maret 1840, ia lahir di Pidoli Lombang, Panyabungan, Sumatera Utara. Satie berasal dari keluarga bangsawan. Tanah airnya diperintah oleh Raja Tinating Nasution, ayahnya. Sebaliknya, ibu Si Grapes Lubis berasal dari Rao-rao. Bungsu dari empat bersaudara adalah Satie. Ia memiliki 3 orang kakak tertua yaitu Sutan Kumala, Sutan Soripada, dan Sutan Kasah. Satie diizinkan bersekolah di sekolah Belanda sebagai anak bangsawan. Panyabung saat itu hanya memiliki satu sekolah.

Willem harus melakukan penyesuaian selama tinggal di Belanda. Dia juga mulai berpakaian seperti orang Eropa, memakai jaket bulu, kaus kaki, dan jaket. Bahkan, untuk menyesuaikan diri, ia harus mengganti namanya menjadi Willem Iskandar. Willem kembali ke Mandailing setelah menghabiskan banyak waktu belajar di Belanda. Setelah itu, ia mendirikan sekolah di Tano Bato. Willem memilih Tano Bato karena itu adalah negaranya. Jumlah murid Willem meningkat dari tahun ke tahun. Dapat diterima secara umum bahwa Willem memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan pendidikan, khususnya pada masa penjajahan Belanda di Mandailing.

Nama Willem Iskander mungkin terdengar asing di telinga sebagian masyarakat Indonesia jika dibandingkan dengan Ki Hajar Dewantara. Padahal, kemajuan pendidikan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari tokoh asal Mandailing tersebut. Jika Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa pada 1922, sejarah mencatat bahwa Willem Iskander telah mendirikan lembaga pendidikan untuk menghasilkan guru-guru bumiputera sejak 1862. Itulah mengapa harian De Locomotief yang terbit pada Agustus 1876 menyebut Willem sebagai pionir pendidikan bumiputera. Mengutip buku Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, Godon berusaha mengajukan beasiswa kerajaan untuk Willem Iskander agar kelak dapat menjadi guru di kampung halamannya.  Akhirnya pada 5 Januari 1859 Raja Willem III memberikan persetujuannya untuk memberi Willem Iskander beasiswa. Willem kemudian melanjutkan pendidikan di Oefenschool (sekolah guru) Amsterdam hingga lulus tahun 1860. 

Setelah tiba di Tanah Air, Willem Iskander berkeinginan untuk membangun sekolah guru di Mandailing. Ia pun menghadap Gubernur Jenderal Mr. Ludolf Anne Jan Wilt Baron Sloet van den Beele untuk mengutarakan maksudnya. Keberuntungan berpihak pada Willem karena keinginannya terpenuhi. Ia membangun Kweekschool (Sekolah Guru) Tanobato. Ini bukanlah sekolah guru pertama. Sebelumnya, telah berdiri Kweekschool Surakarta (1851) dan Kweekschool Fort de Kock di Bukittinggi (1856). Namun, murid-murid sekolah tersebut berasal dari kelas bangsawan. Sedangkan Kweekschool Tanobato terbuka untuk umum dan menggunakan bahasa Mandailing sebagai bahasa pengantar. Awalnya sekolah ini sempat kekurangan murid karena hanya sedikit masyarakat yang mau sekolah di sana. Mereka takut jika harus membayar mahal.

Meskipun demikian, Willem tidak menyerah. Dia menyebarkan pemikirannya tentang kemajuan dari satu jalan ke jalan lain ke kota-kota yang jauh. Terakhir, banyak warga yang ingin belajar di sana. Menurut Greget Tuanku Rao, yang disusun oleh Basyral Harahap, siswa di Kweekschool Tanobato diperlihatkan dasar-dasar juggling angka, membaca, mengarang, Belanda, Melayu, Mandailing, matematika, fisika, belajar, geologi dan pemerintahan. Huruf-huruf yang diperiksa adalah huruf Latin, namun ada juga yang berbahasa Mandailing dan Melayu.

Selain dikenal sebagai sosok yang instruktif, Willem Iskander juga disebut sebagai penulis esai. Sastrawan besar Indonesia Pramudia Ananta Toer, yang pernah menjadi sekretaris Mendiknas Daud Jusuf, bahkan mengungkapkan kekagumannya pada sejumlah karyanya, di antaranya yang berjudul Sibulus-bulus Sirumbuk-rumbuk. Willem Iskander dikenal tidak hanya sebagai seorang pendidik tetapi juga sebagai seorang sastrawan. Pada tahun 1860, Willem Iskander bunuh diri dan dimakamkan di luar Amsterdam, Belanda. Nama Willem Iskander diukir di dua ruas jalan di Sumatera Utara—satu di Mandailing Natal dan satu lagi di Medan untuk menghormatinya. Jalan-jalan ini mengarah ke kawasan pendidikan seperti Universitas Negeri Medan, yang mendidik calon guru Indonesia.


Special Ads
Special Ads
Special Ads
© Copyright - Republiknews
Berhasil Ditambahkan

Type above and press Enter to search.