GpdlGfO6GUAiTpMpTfr6GSOo

Slider

Runtuhnya Sifat Tawadhu


Orang yang tawadhu itu bukan ia yang ketika merendah menganggap dirinya lebih tinggi dari yang dilakukannya.

 Namun, orang yang tawadhu itu ia yang ketika merendah menganggap dirinya lebih rendah dari yang dilakukannya.


Secara umum Tawadhu diartikan kerendahan hati yang termaktub dalam diri seorang hamba.


Sehingga pada perjalanannya, diri akan menyadari bahwa semua yang didapatnya bukanlah atas kehendaknya  melainkan datangnya dari Allah. 


Namun, dibalik sifat tawadhu, akan berbanding lurus dengan rasa paling mengenal, paling mengetahui dan semua yang bersumber dari watak aslinya nafsu. 


Sehingga ketenangan diri, kesederhanaan dan sungguh sungguh menjauhi sifat takabbur, hanya muncul dipermukaan saja. 


Dan di dalam diri sesungguhnya tersenyum Sum'ah atau ingin diketahui orang banyak atas amal dan perbuatan baik kita. 


Jika di dalam diri seseorang telah terpatri kokoh sifat tawadhu, tentulah seiring sikap dan perbuatannya adalah akhlak mulia. 


Sifat rendah diri karena Allah, pada hakekatnya Allah meninggikan kemuliaan seseorang. 


Lalu, seseorang dengan sadar merasa dirinya mulia, akankah karena Allah?. Tentunya ada kekuatan lain yang membimbing ke arah itu. 


Karena fase seseorang dalam berhakikat, bukanlah hijab bagi diri untuk tidak terlepas dari cobaan dan godaan. 


Tidak menutup kemungkinan, seseorang akan dibimbing oleh nafsunya dan bukan oleh rohaninya, dan pada ujungnya meruntuhkan sifat tawadhu di dalam diri. 


Semakin menapaki jalan yang di beri, elemen dalam diri pun bergejolak saat melihat rambu rambu yang ada. 


Keyakinan terkadang dikelabui oleh akal dan nafsu, karena letih oleh terjalnya arah tujuan. 


Pada akhirnya, diri membenarkan segala cara, mengabaikan rambu rambu, sehingga perkataan nafsu terdengar bagaikan ilham. 


Sehingga tidak ada lagi yang lebih baik bacaannya, selain diri ini sendiri. Tidak ada lagi yang lebih baik tafsirnya, melainkan diri ini sendiri. 


Kemudian pada puncaknya, runtuhnya sifat tawadhu karena rasa benar dan selalu benar hanyalah bersumber dari diri ini sendiri. 


Diripun telah dibimbing nafsu, yang watak azalinya adalah aku adalah diriku, lupa akan azalinya sendiri .


Padahal hakikatnya, semua adalah ciptaan dengan karakter dan tugasnya masing masing. 


Rohani bagaikan asing dikuasai akal dan nafsu, redup dianggap bercahaya, karena dibutakan radiasi keakuan. 


Semuanya tidak ada yang benar, mudah mencari kesalahan dan hanya ada kesalahan orang lain di mata ini. 


Diri inilah yang benar dan selalu benar, karena diri inilah yang telah membaca dan menafsirkan Al Quran dengan benar, karena diri inilah yang telah melaksanakan perintahNYA dengar benar. 


Percayalah, itu bukan tujuan, tinggalkanlah rasa itu, karena rasa bukanlah puncak, melainkan kekaguman setelah mengecap rasa itulah yang akan meruntuhkan sifat keakuan didalam diri. (Anonim)






Special Ads
Special Ads
Special Ads
© Copyright - Republiknews
Berhasil Ditambahkan

Type above and press Enter to search.