GpdlGfO6GUAiTpMpTfr6GSOo

Slider

Diakui Kerja Nyata RI Menahan Emisi


Republiknews.com- 
2 September 2020, 15:46 WIB
Prestasi Indonesia menekan emisi karbon 2014-2016 diakui dan menghasilkan dana perubahan iklim Rp1,6 triliun. Namun, realisasi dana USD100 miliar per tahun oleh negara maju masih tersendat.

Kerja dulu, ada hasil nyata, baru mendapat imbalan. Pembayarannya pun dalam bentuk pembiayaan bagi proyek berikutnya. Begitulah aturan main pelayanan jasa lingkungan dalam skema REDD+ Results-Based Payment (RBP). Dari skema itu, Indonesia dinyatakan berhak meraih imbalan senilai USD103,8 juta dari Global Climate Fund (GCF), badan yang berada di bawah Lembaga Perubahan Iklim PBB.

Keputusan memberikan imbalan kepada Pemerintah Indonesia itu diambil dalam sidang di Markas GCF di Incheon, Korea Selatan, 18-21 Agustus lalu. Di situ Dewan Direktur GCF memutuskan bisa menerima proposal bertajuk REDD+ Results-Based Payment (RBP) Periode 2014-2016. Proposal itu berisi laporan kerja Pemerintah RI dalam mereduksi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan (Redd), terkait penanggulangan perubahan iklim.

Kabar baik itu bergulir dari konferensi pers virtual oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Abubakar serta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, Kamis (27/8/2020).  Disebutkan di situ bahwa Indonesia menjadi penerima pembiayaan terbesar, dan menjadi negara kelima yang dapat mengakses  dana percontohan GCF senilai Rp500 juta. Bantuan yang bakal  masuk ke Indonesia itu bahkan melebihi yang diterima Brazil sebesar USD96,5 juta untuk program serupa.

REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus) ialah program utama bagi UNFCCC, badan PBB untuk urusan Perubahan Iklim. Dirumuskan di konvensi tahunan UNFCCC, REDD+ itu adalah aksi memberi insentif finansial pada negara anggota badan PBB untuk menanggulangi masalah deforestasi dan degradasi hutan. Kerusakan hutan itu dipercaya sebagai penyumbang emisi karbon terbesar. Emisinya dianggap lebih besar dari sektor transportasi atau industri.

Program REDD+ ini dirintis sejak 2010. Tujuannya selain menjaga hutan tetap lestari dan terhindar dari kerusakan (degradasi), notasi plus (+) menunjuk adanya penimbunan karbon di dalam biomasssa hutan tak menambah konsentrasinya di atmosfir, hal yang memantik pemanasan global dan perubahan iklim.

Sejumlah skema digelar untuk pemberian itu. Satu di antaranya ialah Global Climate Fund (GCF). Dalam proposal  REDD+ Results-Based Payment (RBP) Periode 2014-2016 itu, Pemerintah RI menunjukkan aksi nyata menekan emisi hingga 20,3 juta ton gas rumah kaca setara karbon.
Laporan ini telah diaudit dan diverifikasi oleh Pemerintah RI dan GFC secara bersama-sama, dan dinilai kredibel. Maka, bantuan senilai USD103,8 juta (sekitar Rp1,6 triliun) itu akan diberikan ke Indonesia, dan akan digunakan untuk program REDD+ lainnya sampai 2022.

Selain skema REDD+ RBP dari GCF, tersedia pula fasilitas sejenis, seperti Letter of Intent (LoI) Indonesia-Norwegia tentang kerja sama pengurangan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan. Kerja sama itu  sudah dirintis sejak 2012 dengan plafon bantuan USD1 miliar. Di luar ini, masih ada pula skema Forest Carbon Partnership Facility dari Bank Dunia.

Skema REDD+ memiliki cakupan luas, termasuk konservasi, manajemen hutan lestari, dan peningkatan stok hutan karbon sehingga dapat  mendorong pencapaian pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang akan berdampak kepada pertumbuhan ekonomi masyarakat. REDD+ juga mengutamakan keterlibatan masyarakat, masyarakat adat, dan komunitas tradisional sebagai pemangku kepentingan. Hak mereka untuk bermukim dan memanfaatkan hutan secara lestari juga harus mendapat jaminan.

Proposal yang diajukan Kementerian LHK, yang menyajikan hasil kinerja REDD+ Indonesia periode 2014-2016, dinilai mengesankan. Penghitungannya dinilai kredibel karena menggunakan baseline emisi yang sesuai panduan praktik dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Sebagai negara pemilik hutan tropis terbesar ke-3 di dunia, setelah Brasil dan Kongo, Indonesia memang menjadi sorotan.

Indonesia ditempatkan sebagai negara penyumbang emisi karbon terbesar keenam di dunia, di bawah Tiongkok, Amerika Serikat, Uni Eropa, India, dan Russia. Sebanyak 70-80 persen emisi karbon Indonesia dari deforestasi dan kerusakan kawasan hutan, terutama hutan gambut.

Sebelum mendapat pembiayaan dari GCF, tahun ini Indonesia pun menerima USD56 juta dari Norwegia. Indonesia akan menggunakan dana tersebut untuk penguatan koordinasi, implementasi, dan arsitektur REDD+ secara keseluruhan. Di dalamnya, ada dukungan tata kelola hutan lestari yang terdesentralisasi melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Hutan Desa, serta pengelolaan proyek.

Dalam penggunaan dana RBP ini, KLHK bekerja sama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). KLHK bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan dan menghasilkan output  yang disepakati oleh kedua belah pihak, sesuai alokasi yang diatur dalam proposal, di dalamnya termasuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla), penegakan hukum, dan mendukung rehabilitasi hutan sebagaimana arahan Presiden RI. Kemenkeu akan bertanggung jawab dalam mengelola, memantau, dan mengevaluasi kinerja proyek untuk memastikan penggunaan sumber daya GCF secara efektif melalui BPDLH.

‘’Kerja keras selama satu dekade, dalam melestarikan hutan dan menghindari deforestasi telah menuai hasil melalui pembayaran berbasis kinerja dari Norwegia dan GCF. Namun, usaha kita tidak bisa berhenti sampai di sini,’’ kata  Menteri LHK Siti Nurbaya. “Pencapaian akan berlanjut  dalam bentuk pembangunan rendah emisi, dan untuk pemulihan lingkungan berbasis masyarakat.”

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati merasa gembira. “Kita senang Menteri LHK dan tim berhasil mendapatkan pengakuan sebesar USD103,8 juta. Terima kasih KLHK sudah menunjukkan kepada  dunia bahwa Indonesia tidak hanya berkomitmen terhadap perubahan iklim, tapi ditunjukkan dengan capaian konkret dalam bentuk pembayaran ini,’’ kata Sri Mulyani. Ia berharap, momentum ini terus terjaga guna meningkatkan keterlibatan dan dukungan semua pihak atas proposal Indonesia untuk GCF.

Lebih jauh, Menkeu mengungkapkan, pendanaan dari DCF ini dapat membantu APBN memenuhi kebutuhan pendanaan perubahan iklim. “Pendanaan yang diterima oleh Indonesia ini dapat membantu APBN dalam  pendanaan perubahan iklim. Hasil dari Climate Budget Tagging (CBT) menunjukkan, masih terdapat celah antara kebutuhan pendanaan perubahan iklim nasional dan anggaran perubahan iklim yang telah dialokasikan dari APBN,” ujar Menkeu.

Adalah Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK yang memimpin penyusunan proposal REDD+ RBP untuk GCF itu, melalui kerja sama berbagai pihak termasuk organisasi internasional. Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu bertidak selaku National Designated Authority (NDA) GCF yang melakukan penelaahan, lantas menyampaikan  proposal ke United Nations Development Program (UNDP) selaku entitas terakreditasi. Berikutnya UNDP yang membawa ke GCF.

Persetujuan GCF ini merupakan suatu berita baik. Tapi, Indonesia masih membutuhkan lebih banyak pendanaan untuk mencapai target. Komitmen negara maju untuk pendanaan perubahan iklim sebesar USD100 miliar per tahun perlu direalisasikan dengan segera agar gerakan penanggulangan perubahan iklim itu bisa berjalan sesuai rencana. (Tamrin Lahiya) sumber
Special Ads
Special Ads
Special Ads
© Copyright - Republiknews
Berhasil Ditambahkan

Type above and press Enter to search.