GpdlGfO6GUAiTpMpTfr6GSOo

Slider

Menelisik Iran ; Revolusi, Hijab dan Sanksi Internasional


Republiknews.com - Tahun 1979 Timur Tengah di guncang dengan tragedi Revolusi besar, yakni Revolusi Islam Iran yang dikomandoi oleh seorang Ulama besar, Ayatullah Ruhullah Khomenei. 


Sejak saat itu pula, Revolusi ini beserta sosok Imam Khomenei mengubah sistem pemerintahan Iran dari yang monarki absolut ke teokrasi.


 Konsep teokrasi yang diusung oleh sosok Imam Khomeini sendiri ialah Wilayatul Faqih, yang secara singkat adalah sistem pemerintahan yang kepemimpinannya dibawah kekuasaan seorang Faqih yang adil dan berkompeten dalam urusan agama dan dari kekuasaan dan kedaulatan absolut Ilahi atas umat 


manusia dan alam semesta. Dalam bentuk aplikatifnya di Iran pemimpin tertinggi Wilayatul Faqih ini disebut juga dengan rahbar dan Wali Al-Amr. 


Menurut Imam Khomeini, pemerintahan para Faqih adalah sebagai pemegang semua tanggung jawab dan kekuasaan Imam Zaman (Imam Mahdi). 


Untuk itu Imam Khomeini menulis kan ;  “Imam maksum telah mempercayakan atas apapun kepada para Fuqaha dimana mereka memiliki kewenangan (wilayah) dan bahwa Faqih menerima semua kekuasaan dari Nabi SAW dan Imam ke-12 dalam aturan dan pemerintahan”


Jika melakukan pendekatan level analisa Individu maka akan kita dapati bahwasannya pemerintahan yang dimaksud Imam Khomeini adalah pemerintahan yang tidak bersifat tirani, 


atau sebuah konsep pemerintahan yang berada dibawah para ulama-ulama, ototritas tertinggi negara berada dibawah tangan ulama atau lebih khususnya adalah seorang rahbar. 


Tujuan Imam Khomeini dalam konsep Wilayatul Faqih adalah menuntut keadilan sosial, pembagian kekayaan yang adil, ekonomi yang produktif yang berdasar kepada kekuatan nasional dan gaya hidup yang sederhana serta berdasarkan konsepsi yang akan mengurangi jurang perbedaan antara kaya dan miskin dan antara pemerintah dan diperintah.


Sosok Imam Khomeini yang tampil dalam dinamika Poltik Internasional dengan revolusi Islamnya yang berhasil menumbangkan Dinasti Shah Pahlevi, membawa Gagasan pemerintahan Islam 


di dunia Modern yang dikembangkannya senantiasa menarik berbagai emosi bagi banyak orang. Imam Khomeini membangkitkan spirit keislamanan,mengembalikan kekuatan dan Puritanisme Islam ditenggah-tengah dekadensi moral dan korupsi. 


Sedangkan mengenai Demokrasi dalam Islam sendiri, Imam Khomeini menerima adanya sebuah demokrasi modern, akan tetapi demokrasi modern dalam gagasan sosok Imam Khomeini adalah demokrasi modern yang berbeda dengan demokrasi yang di usung oleh gagasan-gagasan barat. 


Dalam gagasannya, demokrasi barat mengutamakan suara mayoritas, sedangkan dalam demokrasi Iran suara terbanyak tidak boleh bertentangan 


dengan ajaran Islam. Selain itu, konstitusi Iran juga mengamanatkan pemilu sebagai salah satu pilar demokrasi untuk memilih Presiden, Anggota Parlemen, Dewan Ahli atau Majelis Khubregan dan Dewan Permusyawaratan Islam.


Secara aktual, Republik Iran sebenarnya telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, khususnya yang terkait dengan kebebasan politik dan kebebasan sipil. 


Terlepas dari kritik-kritik yang ada, Republik Islam Iran tampaknya berhasil menawarkan sebuah konsep pemerintahan alternatif dalam peta politik Internasional. Perbedaan yang mendasar antara Demokrasi Barat dan Demorkasi Islam itu sendiri ada pada persoalan prinsip legislasi (Pembuatan Undang-undang). 


Demokrasi Barat meyakini bahwa Undang-undang seharusnya dibuat oleh manusia, sedang Demokrasi Islam meyakini bahwa harus berasal dari Tuhan, melalui utusannya, sehingga setiap undangundang yang dihasilkan harus berada dalam koridor hukum ilahi artinya Demokrasi haruslah bergantung pada prinsip-prinsip Agama atau Ilahi.


Dalam gagasan Teokrasi yang diusung oleh Imam Khomeini menegaskan kebebasan itu mesti dibatasi dengan hukum, dan kebebasan yang diberikan itu harus dilaksanakan didalam batas-batas hukum Islam dan konstitusi, dengan cara yang sebaik-baiknya. 


Sehingga pemerintahan yang adil dan demokratis dalam makna yang sebenarnya berhasil untuk diwujudkan. Kehendak rakyat harus sejalan dengan kehendak Tuhan dan 


mekanisme kesejajaran kehendak tersebut dijaga oleh mekanisme yang disebut Khomeini dengan Wilayatul Faqih, dan ini merupakan suatu bentuk tawaran Khomeini terhadap dunia perpolitikan Islam, khususnya Republik Islam Iran.


Dari gagasan Imam Khomeini ini pula kita akan bisa menganalisis bahwa tidak ada hak atau campur tangan Negara Barat dalam menentukan nasib negara-negara Islam Iran, bahkan Imam Khomeini menambahkan bahwa sungguh memalukan bagi orang Islam jika yang menjalankan sebuah Negara berasal dari musuh Tuhan,


 adapun yang dimaksud Imam Khomeini adalah para pemimpinnya telah membentuk sebuah negara Islam Iran yang menerima bantuan dari negara Barat untuk menentukan nasib negara-negara Islam Iran yang penduduk Islamnya berjumlah satu miliar itu. 


Negara Islam lainnya harus bertindak untuk menentang cara itu sebagaimana negara Iran menentangnya. Negara Islam harus memberikan peringgatan kepada negara Barat.


Hadirnya Imam Khomeini juga menampar dunia Internasional, secara tidak langsung ia menunjukkan bahwa dengan Agama sebuah Revolusi besar mampu terwujud tanpa tedeng aling-aling. 


Republik Iran di bawah tangan dingin sosok Imam Khomeini mampu menjadi negara yang diperhitungkan, disegani serta berwibawa sebabnya ialah negara ini memiliki identitas sendiri dalam membangun struktur politik dan pemerintahannya ditengah kecenderungan dan tekanan Barat terhadap negara berkembang untuk menyesuaikan diri dengan modernisasi 


yang sekuleristik dan pragmatis, selain itu negara para Mullah ini, berhasil melakukan pertahanan di bidang pangan (ekonomi), walaupun menghadapi tekanan barat, khususnya Amerika Serikat. 


Beberapa hari belakangan media Indonesia turut dihebohkan dengan berita demonstrasi yang terjadi Iran terkait tuntutan kebebasan Perempuan dan juga perihal penggunaan Hijab di Iran.


Pemerintahan Iran dianggap represif juga otoriter terhadap rakyatnya utamanya terhadap kaum perempuan terkait penggunaan Hijab. 


Isu tentang keadaan di Iran sejak dahulu selalu menjadi Isu yang membuat masyarakat luas bertanya-tanya, apakah Iran dengan penduduknya yang mayoritas Syiah benar-benar hidup dalam kemalangan dan penderitaan?


Seperti yang dijelaskan sebelumnya pasca Revolusi, Iran mengalami perubahan yang sangat drastis. Mulai dari sistem negara, aturan hingga stabilitas ekonomi. Yang paling sering menjadi Isu adalah terkait penggunaan pakaian atau pun aturan berhijab bagi perempuan di Iran.


Aturan berhijab di Iran seringkali dianggap tidak memberikan ruang bebas-aktif pada perempuan Iran dan terkesan sangat mengekang kebebasan perempuan.


Sehingga, adanya emonstrasi #IranProtest2022  menjadikan Isu tentang Iran semakin melejit tinggi, apalagi jika hal ini disandingkan dengan persoalan keyakinan atau "Mazhab" yang dianut mayoritas masyarakat Iran. 


Hal ini juga turut menjadi wacana sampingan selain wacana seputar penjualan-penjualan Minyak Mentah dan Gas Bumi Iran ke beberapa negara di dunia.


 Iran juga dianggap sebagai negara yang sering mengalami perseteruan dengan Amerika Serikat dan Israel, apalagi jika hal ini sudah masuk dalam isu Kemerdekaan Palestina dan Sanksi Internasional yang diberlakukan pada Iran.


Usaha menekan Iran telah dilakukan Amerika Serikat Selama hampir 40 tahun lebih lamanya. Namun dengan Iran berada dibawah tekanan, embargo dan sanksi Internasional, Iran selalu menunjukkan kemandiriannya sebagai negara yang dikucilkan. Dimulai dari kemandirian Iran terhadap hal-hal yang dianggap fantastis yakni teknologi, minyak dan gas. Iran mampu melejitkan ekonominya ditengah-tengah embargo.


Namun, masih banyak masyarakat Internasional yang tidak memahami mengenai Iran yang sebenarnya. Hasil wawancara penulis dengan seorang dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Padjajaran Indonesia, juga seorang pengamat Politik TimurTengah, yakni Dr.Dina Yulianti Sulaeman kurang lebih menegaskan hal yang sebenarnya terjadi di Iran.


Penulis mengajukan 5 bulir pertanyaan kepada narasumber saat wawancara dilakukan yakni ;


1.  Dibawah konstitusi negara yang berasaskan Teokrasi (Teologi Demokrasi) 


apakah memang Iran sebagai sebuah negara berdaulat menekankan kepada masyarakat atau pun turis wisatawan negaranya menggunakan hijab?


Jawaban ; Ya, di Iran memang ada aturan wajib berhijab, untuk semua perempuan, baik warga Iran, apapaun agamanya, maupun para turis wanita. Namun pada praktiknya, semua orang yang pernah datang ke Iran bisa melihat bahwa di sana aturan hijab sangat longgar. Bisa juga digoogling, gaya jilbab perempuan Iran sangat longgar, banyak yang berkerudung ala mba Yenny Wahid. 


Aturan umumnya (secara praktik sehari-hari) hanyalah berpakaian sopan, blus lengan panjang dan rok panjang atau celanan panjang, serta mengenakan kerudung. Silakan digoogle, seperti apa 


cara berkerudung pejabat/tokoh perempuan Indonesia yang berjunjung ke Iran, seperti Megawati (era Khatami), atau pejabat Uni Eropa.  Mereka ya cuma pakai kerudung saja, bukan jilbab.


Tapi, ada banyak sekali perempuan Iran yang memilih berhijab dengan rapi (sama sekali tidak memperlihatkan rambutnya), dan melapisi bajunya dengan kain lebar warna hitam yang disebut chador (bukan cadar; memakai cadar dan menutupi muka bukan tradisi di Iran). 


2. Dengan melihat rentang sejarah, pasca Revolusi Iran 1979 aturan penggunaan pakaian bagi perempuan mengalami perubahan yang drastis. Sejak pasca revolusi hingga sekarang apakah ada demonstrasi soal penggunaan hijab selain yang terjadi di tahun ini?


Jawaban ; 

Pada dasarnya, demo dengan tujuan menyuarakan aspirasi diperbolehkan di Iran dan pernah terjadi berkali-kali, untuk berbagai isu. Untuk isu hijab, sebelum ini pernah terjadi akhir tahun 2017. 


Yang perlu dicermati adalah isu hijab di Iran ini dicampuradukkan dengan isu ekonomi, dan dianggap sebagai “simbol ketidakpercayaan publik terhadap sistem Islam.”


Fakta bahwa pasca demo-demo yang berakhir rusuh, biasanya diikuti dengan demo-demo tandingan dengan jumlah pendemo yg biasanya jauh lebih besar, diabaikan, seolah tidak penting, yang penting adalah yang minoritas ini. Ini menujukkan bahwa memang demonstrasi adalah tradisi di Iran. Orang Iran sangat terbiasa turun ke jalan berdemonstrasi.


Demo anti-jilbab (dan menyerukan perubahan rezim) yang terjadi akhir-akhir ini, diikuti dengan demo yang jauh lebih besar di berbagai kota di Iran, yang menyatakan dukungan pada pemerintah (sistem Islam).


Respons negara-negara di luar Iran juga berstandar ganda. Jika di Inggris dan Prancis, polisi yang melakukan kekerasan pada demonstran yang rusuh, dianggap ‘menjaga keamanan dan ketertiban umum’ tapi di Iran upaya polisi menundukkan para perusuh (bahkan perusuh juga membunuh polisi), disebut ‘membungkam demokrasi.’ 


 Demo anti-pemerintah Iran, yang selalu saja disertai kerusuhan, disebut ‘pro-demokrasi’ sedang demo-


demo pro-pemerintah (dengan jumlah yang jauh lebih besar) tidak dihiraukan. Tentu ini memunculkan pertanyaan: jika yang jadi parameter adalah demokrasi, tentu suara terbanyak yang diikuti.


 Jika yang jadi paramater adalah syariat Islam (yang disepakati sebagai landasar negara pasca Revolusi 1979), juga sama, hijab menjadi salah satu aturan, di antara sekian banyak aturan lain yang sifatnya integratif.


3. Apakah aturan di Iran utamanya aturan soal penggunaan Hijab berdasarkan pada acuan aturan fiqih Mazhab Syiah yang mayoritas dianut oleh masyarakat Iran?


Jawaban ; 

Tentang hijab, setahu saya, baik di mazhab Sunni maupun Syiah, sama-sama ada dinamika pemikiran. Pada mazhab 


Syiah, sebagian besar ulama meyakini kewajiban hijab, tapi ada juga cendikiawan yang menolaknya. Di mazhab Sunni juga sama. Ada ulama yang meyakini, ada yang tidak.


Ketika hijab dijadikan hukum positif, ini harus dilihat sistem perundang-undangan secara keseluruhan, dan masing-masing negara tentu beda-beda. Untuk di Iran, hijab hanya satu dimensi kecil dalam sistem, ada hal-hal lain yang sangat krusial menyangkut perempuan. Anda bisa cari teks UUD Iran. 


Pasal 21 khusus membahas hak-hak perempuan, yang isinya:

Pemerintah harus menjamin hak perempuan, yang sesuai dengan kriteria Islam, dan mewujudkan tujuan-tujuan di bawah ini:

1) menciptakan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan kepribadian 


perempuan dan pengembalian hak-hak mereka, baik material maupun intelektual;

2) perlindungan terhadap para ibu, terutama pada masa kehamilan dan pengasuhan anak, dan perlindungan terhadap anak-anak yatim;

3) membentuk pengadilan yang berkompeten untuk melindungi keluarga;

4) menyediakan asuransi khusus untuk janda, perempuan tua, dan perempuan tanpa pelindung;

5) memberikan hak pengasuhan kepada ibu angkat untuk melindungi kepentingan anak ketika tidak ada pelindung legal.


Pasal 20-nya, menyatakan bahwa laki-laki maupun perempuan, secara setara menerima perlindungan hukum dan memiliki semua hak kemanusiaan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yang sesuai dengan kriteria Islam.


Sebenarnya, di UUD Iran sama sekali tidak disebutkan dress code perempuan. Masalah pakaian ini ada di KUHP, tapi pasalnya secara umum menyebutkan “dilarang melakukan perbuatan yang melanggar hukum Islam secara terang-terangan di hadapan publik”


Artinya, kalau Anda di depan publik umum melakukan hal-hal yang melanggar agama (termasuk di antaranya membuka aurat, atau minum khamar) berarti Anda melanggar hukum. Perhatikan bahwa poinnya adalah “di depan publik”. 


Kalau si perempuan mau membuka aurat di hadapan non-muhrim di wilayah privat (misal, di rumah pribadi), negara tidak campur tangan.


4.  Sebagai sebuah perbandingan antara Iran dan Arab Saudi dalam aturan Hijab dan kemaslahatan hidup Perempuan 


memiliki kesamaan ataukah perbedaan yang besar?

Jawaban ;

Tidak sama. Sudah saya jelaskan di jawaban sebelumnya. Lihat sistemnya secara keseluruhan, jangan menyinyiri aspek hijabnya saja.


 Bagaimana dengan perlindungan terhadap perempuan secara keseluruhan? Tentu kita harus cek UUD dan KUHP-nya, lihat data dari UNDP mengenai HDI, GEM, GII, atau kondisi perempuan di sana, baru kita bisa berkomentar dengan valid.


Yang jelas, dalam kehidupan sehari-hari, bagi yang pernah ke Iran, maupun ke Saudi, terlihat sekali beda budaya perempuan di kedua negara. Di Iran, sangat biasa perempuan menyetir mobil, bahkan berprofesi sebagai supir taksi atau supir bis, menjadi pilot, pramugari, dan 


berkarir di berbagai bidang. Saat ini, salah seorang wakil presiden Iran adalah seorang perempuan bernama Dr. Ensiyeh Khazali. Sementara di Saudi, baru-baru ini saja ada kebebasan untuk menyetir. 


Perbedaan antara Saudi dan Iran menurut saya bukan disebabkan oleh faktor mazhab, melainkan sistem pemerintahan.


 Iran adalah negara republik, menganut sistem demokrasi, ada pemilu langsung untuk memilih pejabat pemerintah dan parlemen. 


Wali Faqih (Supreme Leader) dipilih melalui pemilu-tidak-langsung. Sedangkan Arab Saudi adalah negara monarkhi absolut, di mana segala kegiatan politik sepenuhnya ditentukan oleh elit kerajaan. 


5. Kira-kira menurut Ibu, pengaruh loyalis Reza Pahlavi masih sangat besar terhadap sebagian besar masyarakat Iran hingga 


sekarang ataukah tidak?

Jawaban ;

Reza Pahlavi sudah tidak lagi punya pengaruh dalam dinamika politik domestik Iran saat ini. Mereka sudah lari ke luar negeri sejak awal kemenangan Revolusi Islam Iran. 


Mereka menyerang Iran dari luar negeri, dengan cara menyebarkan berbagai propaganda buruk, termasuk memprovokasi demo anti-hijab ini dan anti-rezim. 


Kalau kita lihat, dalam setiap pemilu di Iran, turn-out vote sangat tinggi, menunjukkan mayoritas rakyat Iran masih mendukung sistem pemerintahan Islam. 


Tentu tidak mungkin ada satu negara yang 100% warganya satu  suara. Di indonesia saja ada kubu pro-pemerintah, ada oposisi. 


Tapi ketika memilih sistem demokrasi, ya suara mayoritas (hasil pemilu) yang ditaati. Mengapa standar demokrasi menjadi berubah saat mencermati Iran?


Penulis : Novi Astuti 

Special Ads
Special Ads
Special Ads
© Copyright - Republiknews
Berhasil Ditambahkan

Type above and press Enter to search.